Cover pixabay Setelah menemukan alur perizinan penelitian langsung dari bupati, keesokan harinya saya bergegas menuju kantor bupati dan beberapa dinas untuk bersurat. Tidak terlalu pagi, namun juga tidak terlalu siang. Bangun pagi adalah hal sulit. Saya berangkat menuju kantor bupati. Hari itu panas betul. Mungkin semacam tanda untuk hari-hari berikutnya yang akan dipenuhi hujan. Ini adalah kali pertama saya datang ke kantor bupati. Sepanjang hidup, saya tak pernah sama sekali berpikir akan datang ke gudung bertingkat yang megah nan mewah itu. Saya tiba sekitar pukul 11 siang bersama salah seorang teman kecil. Di tengah kesibukannya mencari kesibukan, syukurlah ia mau menyempatkan untuk menemani. Lumayan, sebagai tukang poto saya nanti jika diminta langsung wawancara bila memungkinkan. Jadi tak perlu repot-repot minta tolong orang lain untuk mempoto nanti, apalagi kalau sampai harus selfi. Janganlah! Kami parkirkan motor bebek tua yang mati keempat soknya itu (suspensi). Bisa dibayan
“Negara kembali merampas ruang hidup warganya!” Kurang lebih begitulah kira-kira gambaran yang singkat dan jelas untuk mendiskripsikan peristiwa yang masih hangat untuk diperbincangkan hingga saat ini mengenai konflik Pubabu di Nusa Tenggara Timur. Tak lama setelah Jokowi mengenakan pakaian adat Pubabu untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020 silam, terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada masayarakat Pubabu yang mendiami Hutan Adat Pubabu di Amuban Selatan, Nusa Tenggara Timur. Tak pelak, hal tersebut menuai kritikan tajam. Glamor busana yang dikenakan Jokowi dianggap tak ubah sebagai formalitas kebangsaan saja. Selebihnya, Ia dan jajaranya menutup mata terhadap permasalahan yang sedang menimpa warganya sendiri. Sebenarnya bila ditelisik lebih jauh, konflik ini telah berlangsung cukup lama – sejak tahun 1987-- dan memuncak baru-baru ini setelah mencuat ke publik akibat pemberitaan represifitas aparat yang tersebar luas melalui