Langsung ke konten utama

S1 Sabung Ayam


S1 Sabung Ayam

Suara ayam berkokok mengiringi datangnya sinar matahari, seolah menjadi alarmku untuk selalu bangun di pagi hari. Banyaknya ayam yang dipelihara oleh paman Rudi menjadikan rumah ini seperti pasar ayam, lima belas ayam tak kurang yang dipelihara paman. Dari sekian banyak ayam yang dipelihara, ada satu ayam yang paling paman dan aku sukai, paman memberinya nama Jaya. Ayam ini menjadi jagoan kami saat mengikuti sambung ayam. Aku dan paman sangat gemar mengadu ayam, tapi untuk mengurus ayam sehari-hari aku tak begitu suka, maka pamanlah yang melakukanya. Hari ini rencananya kami akan mengikuti kompetisi sambung ayam “ Panji “ yang diadakan oleh seorang pejabat daerah di desa kami. Selepas aku bangun, aku sempatkan untuk berjemur di bawah sinar pagi matahari di pekarangan rumah. Terlihat paman sedang sibuk menyeka air disekujur tubuh Jaya yang habis dimandikan.
  E.. Adan ,baru bangun ?.. “
“ Pasukan si Jaya yang membangunkan, paman sendiri pagi-pagi begini sudah mengurus ayam saja. Bibi entin malah tak diurus ”
“ Dia bisa urus dirinya sendiri, aku kan juga mengurus mesin uang kita” memang Jaya selalu menang dan memberikan uang pada kami.
“ Apa kita cari kerja saja ya paman, kalau kita hanya mengandalkan sambung ayam kan tidak benar? Kalau ayam mati bagaimana? Kan kita tak akan selalu menang? juga kalau tiada kompetisi sambung ayam lagi? Tidak mungkin pula kita mengikuti sambung ayam ilegal di hutan, bisa-bisa malah masuk bui karena diburu polisi”
“ Nah itu bisa berfikir juga kau hahahaa..” ia justru menertawakan aku begitu senangnya seakan baru pertama melihat otakku aku pergunakan dengan benar.
“ Serius aku ini paman”
“ Mau bekerja apa kita ini? jadi kuli ? paling upahnya tak sebesar hasil menang sambung ayam, kau dan paman ini kan sama-sama S1 tidak lulus, lantas siapa yang mau menerima kita ? “
“ S1 apa pula maksud paman ini ?
“ Sekolah Dasar itu S1, Sekolah Menengah itu S2 dan Sekolah Akhir itu S3. Biar kelihatan keren sedikit begitu”
“ Lantas kalau Sarjana paman ?”
“ Ess..Emboh “
“ Hahahahaha kau ini paman, bisa saja “
“ Segeralah bersiap-siap”
Aku masuk kerumah untuk bersih diri dan bersiap mengantar Jaya menuju tangga juara. Setelah selesai aku dan paman bergegas menuju area tempur Jaya di ujung desa. Terlihat banyak sekali orang yang mengikuti ajang ini, terlihat ayam-ayam yang tak kalah indah dan gagah dari Jaya. Tapi aku dan paman tetap percaya diri dan tidak minder.
“ Jangan takut dan, kita harus pesimis supaya menang ”
“ Macamanapula kau ini paman, pesimis itu takut tidak menang paman”
“ Aku hanya ikut-ikutan dari sinetron yang aku tonton kemarin “
“ Optimis yang kau maksud, biar begini aku masih paham hanya tak menegerti berhitung saja”
Babak demi babak dalam pertandingan mampu diselesaikan oleh Jaya tanpa meninggalkan luka pada tubuhnya, ia begitu perkasa. Di partai pamungkas perebutan juara, ia akan menghadapi ayam jago dusun sebelah. Tak ada keraguan, pastilah Jaya jadi pemenang. Benar saja, dengan gagah Jaya menghabisi lawanya dalam arena, ia berhasil menduduki tangga teratas podium juara dan uang datang pada kami berdua.
“ Tak sia-sia aku merawatmu setiap pagi” puji paman pada si Jaya.
“ Namanya saja Jaya paman, pastilah akan berjaya di arena” sambungku atas pujian pada Jaya.
Dengan penuh gembira kami pulang menuju rumah, sebelum meninggalkan gerbang terlihat seorang pedagang ayam tua menghampiri kami. Arah matanya tajam mengarah pada si Jaya,nampaknya ia tertarik pada Jaya.
“ Permisi tuan-tuan” ia menegur kami dalam perjalanan.
“ Ya tuan “
“ Ayam tuan sangat menarik sekali “
“ Jaya namanya tuan, raja gelanggang “ suara paman begitu bangganya pada ayam kebanggan kami itu.
“ Bila diijinkan, perkenankan saya membelinya tuan “
“ Wah saya tidak jual, ayam kesayangan “
“ Berapapun saya bersedia menebusnya “
Paman menoleh ke arahku seakan meminta persetujuanku,
“ Terserah paman saja, paman yang mengurusnya”
“ Berapa tuan mau menawar ?” tanya paman dengan mantap
“ Lima ratus ribu bagaimana tuan ? “
“ Terlalu rendah”
“ Tujuh ratus ribu ?” kubisikan pada paman untuk minta harga jutaan karena ini ayam tak terkalahkan.
“ Ayam ini jutaan tuan, tak ada yang mampu menandingi “
“ Lantas tuan minta berapa? “
“ Setengah juta, bagaimana?
“ Ha? Tuan tidak salah?
“ Kenapa? Terlalu mahal? Tidak sanggup tuan membayar?”
“ Memang jutaan harganya tuan” tambahku .
“ Dengan senang hati saya beli ayam ini “ ia nampak sumringah sekali, seperti tiada keberatan untuk membeli ayam ini. Paman lepaskan jaaya dari pelukan, ia berikan pada pedagang itu. Setelah transaksi selesai kami langsung pulang dengan hati yang bertambah gembira.
“Dengan uang jutaan begini, kita bisa beli dua ekor Jaya “ kata paman dengan raut muka gembira.
 Setibanya kami di pelataran rumah, terlihat pak Radi, penyelenggara kompetisi sambung ayam yang baru saja kami ikuti telah menunggu di teras. Ia berdiri setelah melihat kami dan datang menghampiri.
“ Selamat atas kemenangan tuan-tuan” sembari menyalurkan tangan untuk bersalaman.
“ Terima kasih  banyak tuan” sambutku dan paman dengan senang hati.
“ Begini tuan, saya tertarik ingin membeli ayam tuan yang tangguh itu. Menurut informan, harga pasaran tertinggi ayam petarung adalah tujuh ratus ribu. Bagaimana jika saya beli sembilan ratus ribu untuk ayam tuan berdua?”
“ Tuan terlambat, Jaya sudah kami jual dengan harga jutaan tuan kepada pedagang tuaa di gelanggang”
“ Jutaan tuan ? “ ia nampak kaget
“ Berapa tuan jual ayam itu ? tanyanya lagi.
 Dengan bangga aku jawab
“ Setengah juta tuan “
“ Tuan-tuan ini bercanda nampaknya “
“ Benar tuan, awalnya ditawar lima sampai tujuh ratus ribu. Tapi kami minta harga jutaan untuk ayam kami, dan sepakat setengah juta tuan “
“ Tidakkah tuan-tuan ini tau? Atau pura-pura tidak tahu? Bahwa setengah juta itu sama dengan lima ratus ribu ?”
“ Haaa....? ” kami berdua melongo seperti orang kaget setengah mati serta saling memandangkan muka. Nampaknya kebodohan kami telah mencapai stadium akhir, tak tertolong. S1 tidak lulus.




Komentar

Gerakan Kemahasiswaan

Dimensi Argumentasi

Sebuah hikmah mengatakan, " Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok “ Tantangan terbesar dalam hidup sesungguhnya adalah kefanaan dunia. Dalam kitab, Ayyuhal Walad, Sang Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali menuliskan, " Segala sumber dosa ialah dunia yang hina. Maka, mereka yang cinta buta terhadap dunia, jelaslah dia orang yang hina. " Demikian, bawasanya apa yang menjadi sumber dosa-dosa manusia adalah hawa dan nafsu yang terbelenggu nikmat duniawiyah. Sejujurnya, dalam prespektif peribadatan dapat dikatakan bahwa dunia adalah ladang yang polos. Ya, hitam putihnya tergantung kepada manusia sebagai subjek. Apakah kita ingin menjadikan dunia sebagai lahan bekal untuk pulang? Ataukah justru kita terlena, menjadikan dunia sebagai tambatan kebahagiaan dan nikmat hingga melalaikan segala kewajiban serta melupakan tujuan akhir kehidupan? Dunia yang sebenarnya adalah objek yang sebisa m

Gelombang Ekofeminisme Konflik Pubabu : Perlawanan Perempuan

“Negara kembali merampas ruang hidup warganya!” Kurang lebih begitulah kira-kira gambaran yang singkat dan jelas untuk mendiskripsikan peristiwa yang masih hangat untuk diperbincangkan hingga saat ini mengenai konflik Pubabu di Nusa Tenggara Timur. Tak lama setelah Jokowi mengenakan pakaian adat Pubabu untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020 silam, terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada masayarakat Pubabu yang mendiami Hutan Adat Pubabu di Amuban Selatan, Nusa Tenggara   Timur. Tak pelak, hal tersebut menuai kritikan tajam. Glamor busana yang dikenakan Jokowi dianggap tak ubah sebagai formalitas kebangsaan saja. Selebihnya, Ia dan jajaranya menutup mata terhadap permasalahan yang sedang menimpa warganya sendiri. Sebenarnya bila ditelisik lebih jauh, konflik ini telah berlangsung cukup lama – sejak tahun 1987-- dan memuncak baru-baru ini setelah mencuat ke publik akibat pemberitaan represifitas aparat yang tersebar luas melalui