“Negara
kembali merampas ruang hidup warganya!”
Kurang lebih begitulah
kira-kira gambaran yang singkat dan jelas untuk mendiskripsikan peristiwa yang
masih hangat untuk diperbincangkan hingga saat ini mengenai konflik Pubabu di
Nusa Tenggara Timur. Tak lama setelah Jokowi mengenakan pakaian adat Pubabu
untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020 silam, terjadi
tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada masayarakat Pubabu
yang mendiami Hutan Adat Pubabu di Amuban Selatan, Nusa Tenggara Timur. Tak pelak, hal tersebut menuai
kritikan tajam. Glamor busana yang dikenakan Jokowi dianggap tak ubah sebagai formalitas
kebangsaan saja. Selebihnya, Ia dan jajaranya menutup mata terhadap
permasalahan yang sedang menimpa warganya sendiri.
Sebenarnya bila
ditelisik lebih jauh, konflik ini telah berlangsung cukup lama – sejak tahun
1987-- dan memuncak baru-baru ini setelah mencuat ke publik akibat pemberitaan represifitas
aparat yang tersebar luas melalui media sosial. Konflik tanah di wilayah hutan Pubabu
berawal pada tahun 1982. Menurut kronologi yang disusun oleh Ikatan Tokoh Adat
Pencari Kebenaran dan Keadilan, saat itu Pemerintah Provinsi NTT bekerja sama
dengan Australia meminta masyarakat untuk menyediakan lahan untuk pelaksanaan
proyek intensifikasi peternakan selama limah tahun. Kerja sama ini diterima
oleh Masyarakat Adat Pubabu dengan syarat agar rumah, kebun, dan tanaman milik
masyarakat di dalam kawasan proyek tersebut tetap dikelola oleh masyarakat.
Total lahan hutan adat yang dipakai adalah sebesar 6.000 hektar, dengan 2.761
hektar di antaranya merupakan lahan masyarakat adat.
Setelah usai –tahun 1987-
proyek intensifikasi tersebut diambilalih oleh Dinas Kehutanan yang
melaksanakan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (GERHAN). Di sinilah
masalah mulai muncul. Pemerintah mengklaim kepemilikan hutan sebesar 6.000
hektar tersebut sebagai sarana budi daya tumbuhan komoditas seperti pohon jati
dan mahoni dengan skema HGU (hak guna usaha) sepanjang 1988-2008. Proyek ini
dilaksanakan tanpa melibatkan ataupun mendapatkan persetujuan dari masyarakat
adat.
Pada 2008, ketika
telah HGU berakhir, masyarakat adat menolak rencana perpanjangan kontrak. Hal
ini dikarenakan penggunaan lahan oleh pemerintah sebelumnya dilakukan secara
eskploitatif melalui pembabatan dan pembakaran hutan seluas 1.050 hektar, hal
ini juga telah menyebabkan hutan menjadi gundul dan terjadi kekeringan sehingga
membuat masyarakat sekitar kehilangan air sebagai sumber penghidupan mereka.
Mereka juga kehilangan akses terhadap hutan adat karena mereka dilarang masuk
hutan walaupun hanya untuk mengambil ranting kering untuk kayu bakar dan pakan
ternak.
Ternyata, usut punya
usut, Hutan adat yang sedang dicoba untuk diakuisi oleh pemerintah akan
direvitalisasi untuk proyek pemerintah provinsi seperti: kawasan peternakan
terbesar, perkebunan, dan pariwisata yang akan dijadikan stimulus masuknya investasi.
Secara normatif, hal-hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai tradisional
yang dianut masyarakat adat setempat. Revitalisasi tersebut dianggap akan
mengubah struktur ekosistem hutan yang telah dijaga oleh masyarakat, yakni
pelarangan eksploitasi hutan adat berlebih seperti: penebangan hutan,
perburuan, dan pemanfaat sumberdaya lain secara berlebihan.
Penolakan yang
dilakukan oleh masyarakat Pubabu berimplikasi terhadap berbagai tindakan
sepihak pemerintah seperti: represifitas, kriminalisasi warga, dan yang santar
ramai saat ini adalah penggusuran warga secara represif. Upaya penggusuran
tersebut telah menuai gelombang respon penolakkan dari masyarakat sekitar.
Bahkan, hingga artikel ini ditulis, tindakan semena-mena pemerintah telah
menyebabkan beberapa warga (perempuan) terluka akibat represifitas aparat. Tercatat
29 KK terpaksa harus keluar dari Hutan Adat yang notabenya adalah tempat
persinggahanya, sehingga untuk sementara mereka harus bermukim di alam bebas, beralaskan
bumi dan beratapkan langit.
Sejauh ini, tidak ada
upaya yang solutif dari pemerintah. Bahkan solusi relokasi lahanpun tidak
berjalan, dari total 29 KK yang terdampak, pemerintah hanya menyediakan empat
rumah relokasi dan itupun tergolong tidak layak. Bahkan, lahan yang digunakan
adalah lahan dari warga sekitar pula. Sehingga, sebenarnya upaya relokasi
dilakukan dengan menggunakan lahan dari penduduk lain. Tentu hal ini sangat
tidak bijak, dan bukan tidak mungkin akan memicu konflik baru.
Dengan dalih bahwa
daerah Pubabu merupakan salah satu penyumbang kemiskinan terbesar di NTT, melalui
proyek yang sedang direncanakan tersebut, pemerintah provinsi beranggapan bahwa
tingkat kemiskinan akan dapat diturunkan, bahkan bukan tidak mungkin
dientaskan. Padahal, bila kita melihat konsep kemiskinan Vandhana Shiva,
kemiskinan yang dimaksud oleh pemerintah provinsi tak lebih dari sekedar dalih.
Secara penghidupan, sebenarnya masyarakat Pubabu telah tercukupi dengan “subsistance living” melalui pemanfaatan
sumber daya yang terkandung di dalam hutan adat mereka. Oleh karena itu, bukan
sebuah jaminan bila proyek tersebut dapat memenuhi kebutuhan warga Pubabu dan
menyelamtakan mereka dari kemiskinan, katanya. Bukan tidak mungkin, kehadiran proyek
pemerintah provinsi justru akan mempersulit hidup masyarakat Pubabu.
Perempuan
dalam Perlawanan
“Tuhan
Jesus, Tolong!”
Pekik salah seorang
perempuan warga Pubabu yang sedang beruapaya menyelamatkan diri setelah
mendengar tembakan ke arah tanah brimob tatkala sedang berjuang melawan
tindakan sepihak pemerintah. Terdapat fakta mencolok yang menarik perhatian dalam
gelombang aksi penolakan oleh warga Pubabu akhir-akhir ini, yakni peran
perempuan. Dalam setiap pergerakan, penolakan atas penggusuran oleh pemerintahan
dapat diidentifikasikan sebagai penolakan kaum perempuan sehingga begitu lekat
dengan paradigma ekofeminisme.
Menurut Kristi Poerwandari, salah
satu pendiri Yayasan Pulih, mencetuskan analogi ekofeminisme secara sederhana: apabila
perusakan terhadap alam berarti juga melakukan perusakan terhadap kalangan
perempuan. Begitu juga sebaliknya, apabila adanya pembebasan alam berarti
melakukan pembebasan pula terhadap kalangan perempuan (http://yayasanpulih.org).
Dengan demikian, maka secara
sederhana konsep gagasan ekofeminisme dapat digambarkan melalui slogan “alam sejahtera sama dengan perempuan
sejahtera”.
Ekofeminisme
lahir sebagai bentuk jawaban dari kebutuhan dasar untuk menyelamatkan bumi
dengan berdasarkan pada kekhasan kalangan perempuan yang selama ini dianggap
kompeten atau mampu mengelola lingkungan hidup dan seisinya yang menjadi sumber
kehidupan. Perlawanan perempuan terhadap upaya perusakan alam menggambarkan
perlawanan untuk mempertahankan kelestarian.
Pergerakan
ekofeminisme dapat dilihat dalam gelombang gerakan penolakan oleh masyarakat Pubabu.
Klaim ini buka tanpa alasan, ini didasari atas beberapa bukti lapangan yang
terjadi.
Pertama, praktik porno-aksi. Sebagai bentuk protes yang sangat
ekstrim kepada Gurbernur Nusa Tenggara Timur, kaum ibu-ibu dari masyarakat Pubabu
pernah melakukan aksi buka baju dan bra. Sembari melakukan orasi mereka
mengutarakan penolakan atas proyek pemerintah yang mencaplok hutan adat mereka.
Aksi ini tidak hanya terjadi sekali, tercatat aksi tersebut telah terjadi
sebanyak dua kali selama tahun 2020. Tentu hal ini menyebabkan aparat kerepotan
kwewalahan mengatasinya. Aksi yang mengorbankan kehormatan demi kelestarian
alam –hutan adat— mereka ini menunjukan ambivalensi. Pada satu sisi, menunjukan
aksi heroik perlawanan yang total, pada lain sisi menunjukan rasa putus asa
masyarakat akan sikap pemerintah yang egositis.
Kedua, unjuk rasa dan kekerasan terhadap perempuan. Masih hangat
dalam pemberitaan oleh media beberapa waktu yang lalu, telah terjadi penolakan
dan aksi protes oleh dua perempuan Pubabu akibat penggunaan lahan sengketa oleh
pemerintah. Dua perempuan itu adalah Damaris –seorang ibu rumah tangga—dan Novi
– remaja berusia limabelas tahun—yang akhirnya berujung terhadap tindakan
penganiayaan oleh aparat. Sebenarnya tidak hanya mereka berdua, secara
keseluruhan, aksi penolakan terhadap proyek pemerintah didominasi oleh perempuan,
baik ibu-ibu rumah tangga, remaja, bahkan anak-anak sekalipun. Meskipun
seringkali mendapatkan respon negatif seperti tindak kekerasan misalnya, akan
tetapi mereka tetap konsisten melakukan perlawanan.
Dua hal
diatas dirasa cukup memvalidasi klaim di atas. Militansi perempuan Pubabu untuk
melindungi hutan adat mereka dari ancaman eksploitasi yang lebih parah telah
membuktikan adanya semangat ekofeminisme yang berkobar dalam jiwa
perempuan-perempuan Pubabu, meskipun seringkali aktivitas penolakan yang mereka
lakukan dibenturkan dengan budaya ketimuran. Satu hal yang perlu digarisbawahi,
bahwa semua bukan tanpa resiko. Kebengisan dan sifat egoistis negara dapat
menjadi ancaman bagi perempuan-perempuan hebat Pubabu. Semakin lama konflik ini
terjadi secara konstan dan penuh ketidakjelasan, semakin banyak kemungkinan
masyarakat menjadi korban.
“Upaya untuk menyebarluaskan misi lingkungan hidup terjadi
justru melalui gerakan-gerakan lokal. Bahkan inisiatif ini terjadi dimulai dari
para perempuan adat yang mencemaskan alam liar yang semakin tergerus.”
Referensi
http://yayasanpulih.org/2020/08/mengenal-ekofeminisme/
https://asumsi.co/post/apa-yang-terjadi-di-hutan-adat-Pubabu-timor-tengah-selatan
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53839101
https://nttprogresif.com/2020/10/16/darurat-kemanusiaan-di-Pubabu-walhi-ntt-kecam-laku-pemprov-ntt/
https://tirto.id/mengurut-kasus-penggusuran-penganiayaan-warga-adat-Pubabu-ntt-fZcB
https://www.jurnalperempuan.org/blog/ekofeminisme-menyoal-perempuan-dan-alam
https://magdalene.co/story/ekofeminisme-perempuan-dalam-pelestarian-lingkungan-hidup
Komentar
Posting Komentar