Setelah menemukan alur perizinan penelitian langsung dari bupati, keesokan harinya saya bergegas menuju kantor bupati dan beberapa dinas untuk bersurat. Tidak terlalu pagi, namun juga tidak terlalu siang. Bangun pagi adalah hal sulit. Saya berangkat menuju kantor bupati. Hari itu panas betul. Mungkin semacam tanda untuk hari-hari berikutnya yang akan dipenuhi hujan. Ini adalah kali pertama saya datang ke kantor bupati. Sepanjang hidup, saya tak pernah sama sekali berpikir akan datang ke gudung bertingkat yang megah nan mewah itu.
Saya tiba sekitar pukul 11 siang bersama salah seorang teman kecil. Di tengah kesibukannya mencari kesibukan, syukurlah ia mau menyempatkan untuk menemani. Lumayan, sebagai tukang poto saya nanti jika diminta langsung wawancara bila memungkinkan. Jadi tak perlu repot-repot minta tolong orang lain untuk mempoto nanti, apalagi kalau sampai harus selfi. Janganlah!
Kami parkirkan motor bebek tua yang mati keempat soknya itu (suspensi). Bisa dibayangkan, bila kami berjalan melewati jalan terjal, punggung kami terancam kecengklak. Selain itu, suaranya pun gemeladak seperti benturan dua benda keras. Jika dilihat-lihat, di parkiran motor yang kami bawa itu terlihat mencolok. Bagaimana tidak? Motor bebek tua, hitam, dan tak satupun soknya yang hidup bersanding dengan mobil-mobil dan motor-motor berpelat merah yang masih mulus dan saya kira soknya masih hidup. Jadi, tidak gemeladak bila melewati jalanan yang terjal.
Tidak menunggu lama, selepas itu kami masuk ke kantor. Sunyi, namun tidak terlihat sepi. Betapa kantor ini begitu mewah. Tak jauh berbeda dengan hotel kelas satu. Namun, jelas berbeda dengan rumah saya dan kawan saya. Kami disambut dengan pemandangan ornamen meriam di depan pintu. Penasaran, kawan saya memegangnya. Mengelus-elusnya dengan lembut bak perut ibu hamil sembari berkata, “ alus banget, ik.” Saya hanya ketawa saja sekaligus misuh, “Jancok haha ndeso.” Padahal, sebetulnya saya juga penasaran dan ingin memegangnya.
Tak tahu harus ke mana, saya bertanya pada siapapun orang yang saya lihat.
“Ingin bersurat, dimana tempatnya, ya Pak” Tanya saya singkat.
“ Di sana, Mas” Sembari menunjukan ruangan di belakang meriam yang dihubungkan dengan koridor terbuka. Di depanya ada semacam jendela kecil terbuka yang di mukanya terdapat wadah yang bertuliskan “surat masuk.” Ya, bagian TU. Tidak ada siapapun yang berjaga. Hanya ada satu kursi kosong di balik jendela itu. Tak mau ambil pusing, saya taruh saja surat penelitian di tas saya. Selepas itu kembali ke tempat parkir.
Teman saya bertanya, “Meh nangdi meneh iki?” Saya berpikir sejenak. Dipikir-pikir, jika menunggu untuk dihubungi pihak TU rasanya sungguh tidak mungkin. Alhasil saya putuskan menuju dinas tembusan sebagaimana yang ada di surat. Saya modal nekat saja.
Pertama, kami menuju dinas yang banyak staf perempuannya. Tidak jauh dari kantor bupati juga taman kota. Tidak semegah kantor bupati tentunya. Tapi tetap, masih megah ketimbang rumah kami. Selepas parkir di himpit mobil-mobil besar, kami masuk ke dalam. Kami disambut oleh ibu resepsionis yang sedang mendengarkan musik dengan begitu asyik.
“Ada apa, Mas?” Tanyanya antusias.
Saya sampaikan keperluan saya untuk memohon informan penelitian untuk diwawancarai. Dimintalah surat saya. Ia baca sepintas, lalu bertanya,
“Kok ditujukannya kepada Pak Bupati, Mas?”
Saya jelaskan sebagaimana adanya bahwa itu adalah arahan bupati secara langsung yang saya kontak tempo hari. Kalau begitu, katanya, silakan ke bagian umum (TU) dulu untuk bersurat ya, Mas.
“ Saya sudah ke bagian umum, kok.”
“ Lalu bagaimana tanggapanya?”
Saya bilang saja sudah direspon. Surat yang masuk dijadikan inventaris kantor untuk pemberitahuan. Dan, setelah itu saya diperbolehkan menuju dinas terkait untuk wawancara membawa kopian surat tersebut. Padahal di bagian umum saya tak menemukan siapapun. Tak mendapat arahan dan izin papun. Bagaimana lagi, biar lancar dan cepat saja. Syukurnya saya meyakinkan. Ia mengangguk dan bertanya seputar metoda wawancara. Selepas itu, saya akan dihubungi esok hari. Saya pun pulang.
Saya bergegas menuju dinas berikutnya. Secara tugas memang menaungi persoalan sosial kemasyarakatan termasuk pekerja seks. Kantornya tak jauh dari kantor DPRD, dan juga tak jauh berbeda kondisinya dari kantor dinas sebelumnya. Selepas tiba, saya masuk. Mengisi daftar tamu dan diarahkan ke ruangan staf. Cukup banyak orang di dalam. Meja-meja berderet seperti meja kursi kuliah di kelas. Ketika ditanya ingin meneliti apa, saya jawab soal PSK.
“ Kok PSK ke sini?” celetuk salah seorang dari mereka seperti kebingungan. Mereka bingung, apalagi saya? Saya katakan bahwa ini adalah salah satu tugas yang ada di dinas terkait sebagaimana tertuang dalam peraturan pembagian kerja OPD (padahal saya hanya lihat di website dan itupun copas pemerintah kota).
“Oh mungkin nanti sudah disiapkan apa yang harus di jawab dari masnya. Jadi tinggal jawab saya kan, Mas?”
“Betul, Bu.” Jawab saya singkat.
Singkat waktu, urusan saya di sana selesai. Diberikan kepada saya kontak staf yang bersinggungan dengan penelitian saya. Saya pun pulang. Dan kehujanan (lagi).
Kebingungan
Pagi-pagi betul HP saya berdering. Nomor tidak dikenal, saya malas dan kembali tidur. Selang dua jam kemudian saya terbangun. Seperti tradisi anak zilenial, ritual utama pasca bangun tidur adalah membuka HP, dan saya pun demikian. Begitu banyak miss call, baik melalui telepon pulsa ataupun WA. Mulanya saya kira kurir kesasar. Ternyata telepon dari dinas pertama yang saya kunjungi. Saya telpon balik.
Pada intinya, saya diminta untuk menghubungi bagian terkait sekaligus diberinya kontak orang yang dimaksud. Tanpa berlama-lama, saya chat melalui WA. Saya sampaikan tujuan saya untuk wawancara seputar PSK. Responya? Kaget. Katanya, PSK tidak dibagiannya. Padahal di peraturan, dinas itu jelas dilibatkan. Kemudian, saya disarankan untuk ke dinas kedua yang saya kunjugi. Saya bingung bukan kepalang. Dinas pertama bingung, dan diminta ke dinas kedua. Sementara itu, waktu saya datang ke dinas kedua, orangnya pun terlihat bingung. Saya menggerutu, terus siapa yang mengurus PSK ini? Apa iya itu langsung di urus Tuhan?
Tak ambil pusing. Saya nekat datang ke dinas pertama dengan membawa draft pertanyaan. Saya diminta untuk menunggu. Kali ini saya sendirian. Teman saya itu benar-benar sibuk, nampaknya. Orang yang saya cari sedang ibadah, pungkas seorang staf.
Singkat kata, saya bertemu. Saya sodorkan daftar pertanyaan yang saya ingin tanyakan sebagaimana yang diminta ketika kedatangan kali pertama saya ke dinas itu. Selepas dibaca sekilas, ia berujar persis ketika membalas chat saya. Ya, saya sampaikan saja jika dinas yang disarankan juga nampak bingung waktu saya datangi. Nampaknya, ia bingung sekaligus emosi. Ia meninggalkan saya sejenak untuk menelpon dinas kedua. Dengan nada yang agak tinggi, dia mempertanyakan respon mereka kepada saya. Cukup lama, sekitar 15 menit.
Usai telepon, ia menghampiri saya. Diberilah saya daftar nama yang harus saya datangi. Pesannya, jangan mau saya diberikan informan selain orang-orang ini. Saya ucapkan terima kasih lalu saya jabat tanganya. Pulang.
Menuju rumah, di perjalanan saya bersyukur. Saya sempat cemas. Saya bayangkan bagaimana bila kedua dinas itu bertengkar. Untungnya tidak begitu. Hahahaha. Hujan lagi.
Komentar
Posting Komentar