Langsung ke konten utama

Melacur


Melacur

Tidak bisa dipungkiri bahwa kini aku seperti tidak tahu arah melangkah lagi. Sementara keadaan semakin memaksaku untuk menentukan jalan, lantas kemanakah langkah kaki ini akan berarah ?. Dalam kehidupanku yang tidak lebih dari kecukupan, aku masih terus berusaha mencukupi segala kebutuhan, tidak hanya kebutuhanku sendiri, namun juga dua anakku yang masih kecil, Rafin dan Ranti. Karena suamiku yang telah pergi dari dunia ini, secara alamiah telah menobatkanku sebagai pemegang peran ganda dalam menjalani hidup sebagai orangtua dari anak-anakku. Tidak hanya mengurusnya serta menghidupinya, aku juga harus mampu memenuhi segala kebutuhanya, diperberat lagi dengan hutang-hutangku yang semakin menumpuk. Permasalahan ekonomi terus mendatangiku tiada jeranya, membuatku kelabrakan mencari jalan keluar. Pernah suatu kali, aku mencoba bekerja sebagai seorang kuli angkut pasar, sebagai perempuan tentu ini pekerjaan yang tidak wajar, namun mau tidak mau aku harus lakukan. Seekor burung dara saja rela memungut makanan ditengah sampah untuk meloloh piyik-piyiknya agar bisa tetap hidup, jadi tidak ada alasan menyerah untuk anak. Namun kali ini aku harus mencari jalan lain, aku harus pergi mencari sumber kehidupan yang lebih dan mampu menjawab semua persoalan yang aku hadapi, dalam benakku terlintas kata “Kota“ ,ya aku harus ke kota untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kini aku tahu tujuan langkahku, melangkah kembali ke rumah dan bersiap tinggalkan persinggahan yang penuh kenyamanan ini untuk mendapat hidup yang lebih baik.
Pagi-pagi benar aku bersiap untuk pergi. Orangtua mana yang tega melihat anaknya menangis meraung-raung, dalam perpisahan yang satu ini aku harus tega, ini juga demi kebaikan mereka kedepanya. Tangis haru mewarnai kepergianku pagi itu, sementara waktu anak-anakku akan hidup bersama ibuku, nenek mereka. Dengan membawa restu dan barang-barang bawaan, aku berangkat menuju setasiun dengan ojek yang aku naiki. Nampak pohon-pohon di sepanjang jalan mengucapkan salam perpisahan dan juga langit yang menitihkan air mata ke bumi perlahan, seperti menunjukan keberatan akan kepergianku.
 Tiba di stasiun, aku jinjing koper dan barang bawaanku menuju kereta. Aku duduk di dekat jendela, sembari menunggu kereta berangkat, aku lihat foto anak-anakku yang aku tinggalkan. Betapa imutnya mereka yang masih kecil, Rafin kelas tiga SD dan Ranti akan masuk sekolah tahun ini.
“ Permisi “ kata seorang perempuan setengah abad dengan penuh ramah yang hendak duduk di sampingku, tetap cantik meski setengah lebih tua dari umurku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum ke arahnya. Kereta berangkat menuju kota.
“ Mau ke Jakarta ?“ tanyanya lagi membuka percakapan.
“ Tidak salah “
“ Hendak memperbaiki nasib ? “
“ Tidak Keliru bu “
“ Saya Tami Reniani “ Ia mengulurkan tanganya untuk berjabatan.
“ Rumiana bu, Siti Rumiana “ aku terima jabatan tanganya dengan senyuman.
“ Sudah pernah kiranya mbak Ruma ini pergi ke Jakarta ? “
“ Sama sekali belum bu, ini yang pertama “
“ Sudah siap nampaknya menghadapi kehidupan di kota “
“ Bermodal tekat saja bu , pendidikan Cuma sekolah dasar. Ibu Tami sendiri hendak apa pergi ke Jakarta ? “ ganti aku yang bertanya.
“ Melanjutkan pekerjaan “
“ Pekerjaan apa jika boleh saya tahu ? “
“ Bisnis kecil-kecilan saja, Adek sendiri ingin bekerja apa nanti ? “
“ Entah bu, saya akan cari nanti di sana. Apa saja yang terpenting bisa untuk bertahan hidup untuk saya dan anak-anak saya di kampung “
“ Sebagai orang yang berpengalaman hidup di kota, saya dengar kehidupan di kota amat keras ? Apa betul demikian ? ”
“ Kehidupan di kota tidaklah sekeras perkataan orang-orang. Mereka yang mengatakan kehidupan di kota keras ialah mereka yang terlalu lembek dalam menghadapi keadaan dan kenyataan hidup”
“ Lantas?”
“ Kerahkan apa saja yang kamu punya” aku hanya mengangguk tanpa menanggapi.
Perjalanan terasa sunyi, sementara itu ibu Rumi nampak sudah asyik dengan ponselnya. Aku pejamkan mata untuk memberi kesempatan tubuhku beristirahat merasakan getaran-getaran kereta kelas ekonomi tujuan Jakarta ini. Ketika aku terbangun, nampak senja sudah mulai tiba. Rupa-rupanya ia sengaja datang ketika aku membuka mata untuk memamerkan keindahanya.
“ Nyeyak tidurmu ? “ tegur ibu Tami sembari memasukan ponselnya kedalam tas kulitnya.
“ Lumayan menghilangkan kepenatan dan mempercepat perjalanan”
Tak lama kereta sampai di stasiun gambir Jakarta, sebelum kami turun ibu Tami sempatkan memberiku kartu nama yang berisi alamat dan kontaknya.
“ Datanglah jika kamu telah menemui kebuntuan, aku akan membantu. Selamat sore “
“ Terima kasih “ ia pergi meninggalkan kereta. Aku simpan kartunamanya di dompet, berdekatan dengan foto kedua anakku.
Tiba di jakarta, aku disambut dengan asap kendaraan pekat serta bangunan-bangunan menantang langit, aku bawa barang bawaanku dan mencari tempat tinggal. Sepetak rumah aku sewa untuk persinggahan sementara. Aku mulai mencari kerja, semua akan aku kerjakan demi sesuap nasi untuku dan anak-anakku di kampung. Hampir tiga bulan aku hidup di Jakarta, namun tak juga menunjukan grafik hidup yang membaik. Semua pekerjaan telah aku coba, menjadi tukang sapu jalanan, pelayan rumah makan bahkan menjadi kuli angkut pasar lagi telah aku lakukan, namun upah yang aku terima belum bisa memenuhi kebutuan anak-anakku dan menutup hutang-hutangku.
Kali ini aku mencoba peruntungan menjadi pembantu rumah tangga. Aku bekerja setiap hari, sewa kontrakan tidak aku lanjutkan untuk bulan ini dan tinggal di sana. Mencuci,menyapu,mengepel, memasak serta pekerjaan rumah tangga lainya aku lakukan sehari-hari. Hampir dua minggu aku bekerja, tiba-tiba datang permasalahan yang membuatku harus berhenti bekerja. Ketika nyonya Ratno pergi, rumah menjadi sepi sementara itu anaknya sekolah. Karena pekerjaanku siang itu telah selesai aku putuskan untuk beristirahat ke kamarku di belakang. Tiba-tiba suara mobil terdengar dari luar rumah, seketika aku melihatnya keluar. Tuan Ratno pulang kerja lebih awal rupanya.
“ Diamana nyonya ?” tanyanya sembari turun dari mobil.
“ Pergi tuan “
“ Sejak kapan?”
“ Baru saja “ ia memasuki rumah dan menyuruhku untuk kembali melanjutkan aktivitas. Aku kembali ke kamarku di belakang. Cukup lama aku tiduran, tiba-tiba pintu kamarku terbuka, tuan Ratno memasuki kamarku !.
“ Tenang saja, Ibu kan sedang pergi “ katanya sembari duduk di tepi ranjangku.
  Ada apa tuan ? tolong jangan macam-macam  “ ia terus mendekatiku, kecurigaan menumpuk dalam pikiran.
“ Akan aku berikan segalanya untukmu, kau begitu cantik dan seksi “
“ Jangan macam-macam tuan ! nanti saya laporkan pada nyonya “
“ Laporkan saja, tidak ada orang di sini kecuali kita “ ancamanku tidak digubrisnya.
“ Jangan ! saya mohon tuan “ aku menangis dengan setumpuk rasa ketakutan.
“ Ayo kemarilah “ ia semakin mendekat, kedudukanku semaksin tertekan di ujung ranjang.
“ Jangan tuan jangan” aku berusaha lari darinya, namun ia menariku hingga aku terjatuh di sampingnya layaknya orang yang akan bersenggama.
“ Apa-apaan ini ! “ sontak aku terkejut dan cepat-cepat bangun dari ranjang, nyonya Ratno sudah terlihat berdiri di pintu kamarku.
“ Tuang ingin memperkosa saya nyonya “ dengan tangis yang terus menetes aku berusaha mengatakan yang sejujur-jujurnya.
“ Bohong !” sambar tuan Ratno.
“Tadi ia memintaku untuk mengusir tikus besar yang ada di kamarnya, setelah aku cek ke kamarnya ternyata tidak ada apa-apa. Malah dia justru ingin merayuku mah “ kata-kata sambaranya berusaha meyakinkan isrinya dengan bualanya yang palsu itu.
“ Sungguh saya tidak berbohong nyonya “ aku hanya bisa menangis, tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat untuk meyakinkan kebenaran pada nyonya Ratno.
“ Pembohong ! “ tuan Ratno itu terus membela diri dengan hipokrisi.
“ Dasar tidak tahu diri ! sudah dikasih pekerjaan dan tempat tinggal masih ingin kau embat juga suamiku. Pergi ! “
“ Ampun nyonya saya tidak bersalah “ aku memohon padanya dengan kucuran air mata.
“ Pergi ! “
“ Kau tidak dengar itu ? pergi ! “ imbuh tuan Ratno dengan rasa tanpa bersalah sedikitpun.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ibu Ratno lebih percaya kepada perkataan suaminya yang penuh dusta itu dari pada aku pembantunya yang berkata sebenar-benarnya. Aku kemasi barang-barangku dan pergi meninggalkan rumah mereka.
Panasnya matahari yang menyengat kala itu mengeringkan air mata yang membasahi wajahku, aku tak tahu hendak kemana lagi. Pikiranku kacau balau, tak tahu di mana harus tinggal dan bagaimana lagi harus mencari sumber kehidupan, untuk hidup aku sendiri saja susah apalagi dengan anak-anakku.
“ Kringgg...Kringg...”
 Suara ponselku terdengar nyaring, tertera nama ibuku sedang memanggil, aku menepi sejenak menghentikan langkah untuk menjawab panggilanya. Dalam pesanya disampaikan melalui telpon itu, ibu menyampaikan bahwa Ranti membutuhkan dana untuk memasuki sekolah, sementara itu tagihan hutang terus berdatangan dan satu di antara mereka akan menyita perabotan rumah jika hutangku padanya tak kunjung dibayarkan, setidaknya mencicil. Kini lengkap sudah penderitaanku, aku tarik nafasku panjang-panjang serta mendudukan tubuh di emperan jalanan. Sejenak aku tenangkan perasaanku yang mulai tak beraturan. Aku buka dompetku untuk memandangi foto kedua anakku yang masih saja lucu, rindu sekali aku kepada mereka. Di samping foto mereka terlihat olehku kartu nama Tami Reniani , aku menjadi ingat akan perkataanya saat hendak menuruni kereta, jika aku menemui kebuntuan, ia menyuruhku datang padanya.
“ Kini aku merasa di ujung gang yang bertembok tebal. Buntu ! aku harus menemuinya “ aku kembali meneruskan langkahku untuk mencari alamat yang tertera di kartu nama itu. Alamat itu membawaku pada suatu rumah besar yang nampak sunyi di siang hari ini, selain itu rumah ini juga jauh dari khalayak ramai. Aku mencoba memastikan kebenaran alamat ini, aku ketuk pintu rumahnya.
“ Permisi “ sembari aku mengetuk pintunya. Tak kutemukan tanda-anda adanya orang di rumah ini. Berkali-kali aku ketuk pintunya, tidak kurang dari sepuluh menit akhirnya pintu terbuka. Terlihat kembali olehku wanita setengah abad yang tetap cantik dan awet muda itu.
 “ Rumi ? “
“ Betul bu “
“ Masuklah “ ia kembali menutup pintu rumahnya dan berbincang denganku di ruang tamu yang nampak sangat sepi.
“ Bagaimana kabarmu ?”
“ Kurang baik saat ini bu “
“ Apa saja yang sudah terjadi padamu selama hidup di Jakarta Rum ? aku ceritakan apa saja yang sudah aku alami selama tiga bulan hidup di Jakarta termasuk peristiwa yang terjadi di keluarga Retno. Ia hanya mengangguk seperti sedang mendengar pendongeng bercerita.
“ Engkau datang kemari tentu telah mengalami kebuntuan dan putus asa bukan?”
“ Aku betul-betul sudah tidak tahu lagi apa yang harusku perbuat “
“ Aku bisa membantumu, namun belum tentu engkau mau ? “
“ Tentu aku mau” jawabku sigap.
“ Kau nampak masih menarik dengan dua anak yang telah kau lahirkan, Kau bisa bernyanyi?”
“ Sedikit-sedikit “ ia mengangguk dilanjutkan dengan berkata,
“ Hari sudah mulai gelap, bersihkan dirimu dan tinggalah sementara di sini “  setelah mandi, ia mendatangiku ke kamar. Ia berikan padaku pakaian mewah untuk kupakai serta memintaku berdandan. Nampak sedikit seksi pakaian ini, namun denganya aku terlihat sepertti masih gadis.
“ Kau ingin bekerja ? “
“ Tentu “
“ Kau akan dapatkan banyak uang “
“ Apa yang harus aku kerjakan ?”
“ Ikuti saja perintahku, mari ikut deganku” aku mengikutinya, ia membawaku ke sebuah gedung cukup besar dengan mobil-mobil mewah tertata rapi di area parkiran. Di tuntunya aku memasuki ruangan kedap suara yang gemerlap.
“ Kau stay di sini, jangan kemana-kemana. Jika datang seseorang kemari mengajakmu bernyanyi, jangan kau tolak dan berbaik-baiklah padanya. Ingat, ikuti perintahku “ aku hanya mengangguk atas perkataanya, ia meninggalkan aku keluar. Tak lama berselang datang seorang pria matang, perkiraanku lima tahun lebih tua dariku. Ia mengajaku bernyanyi, sempat ia meminta agar aku lebih dekat denganya namun aku tak mengubris dan terus bernyanyi. Hampir dua jam aku berada dalam ruangan dengan lelaki itu. Tak lama setelah lelaki itu keluar, bu Tami datang dan memberiku uang sebesar tujuh ratus ribu. Hampir mendekati gajiku sebagai penyapu jalanan dan lebih banyak dari upahku menjadi kuli angkut dalam satu bulan ! hanya dengan bernyanyi dua jam,tak perlu kerja berat aku bisa dapatkan uang banyak. Dengan begini kebutuhanku dan anak-anakku akan terpenuhi, setidaknya hutang-hutangku bisa mulai aku cicil untuk melunasi.
“ Bagaimana dengan pekerjaan yang seperti ini? “ tanyanya sembari menuntunku kembali ke rumahnya.
“ Tidak begitu menyulitkan “
Kini setiap hari aku bekerja sebagai pemandu, tak jarang orang ingin menyentuh tubuhku namun aku menolak. Sempat ada beberapa yang mengadu pada bu Tami akan hal itu, akhirnya ia memintaku untuk tidak meolak selama tidak menyetuh bagian vitalku karena memang inilah resikonya. Jika aku tidak mau, maka tidak akan adalgi orang yang menginginkanku untuk bernyanyi bersama. Dengan begitu aku tidak akan mendapat apa-apa dan aku tidak akan bisa mengirim uang untuk anak-anakku di rumah. Dengan terpaksa, aku lakukan apa yang dia katakan. Merelakan tubuhku terjamah oleh laki-laki lain dan bisa jadi laki-laki yang beristri juga mejamahku. Kini aku menghinakan diri  demi kehidupan anak-anakku dan agar permasalahan ekonomiku dapat terselesaikan. Semua itu aku lakukan hampir tiga bulan, meski kehidupanku dan anak-anakku di kampung mulai terpenuhi, namun hutang-hutangku tak kunjung lunas, semakin lama aku mencicil maka semakin besar bunga yang harus aku bayar. Dan kini bunganya hampir separuh hutangku, jalan satu-satunya adalah memperbanyak uang cicilan agar bunga tak bertambah besar, syukur-syukur bisa langsung ditutup semuanya. Maka aku harus mencari uang lebih banyak lagi untuk itu.
Pada malam itu aku mendapatkan tamu seorang lelaki tua sekitar empatpuluhan, ia memesan banyak minum keras. Ia minum cukup banyak namun tak menunjukan tanda-tanda mabuk, sementara aku dituangkanya satu gelas wiski untuk ku minum.
“ Minumlah, kau tak akan mabuk, tenang saja “ katanya meyakinkan.
Aku meminumnya sekali teguk dan aku teruskan untuk bernyanyi. Kepala terasa pusing, dan ia memintaku meminumnya kembali.
“ Racun disembuhkan dengan racun, jika kau pusing karena meminum ini, maka minumlah lagi agar kembali pulih” dengan polosnya aku percaya. Namun yang terjadi justru aku semakin pusing, pendangan kunang-kunang hingga kehilangan kesadaran dan tak tahu apa yang terjadi setelah itu, singkatnya tak sadarkan diri.
            Ketika aku tersadar, kepalaku masih terasa sedikit pusing dan betapa terkejutnya aku ketika sadar, aku berada di sebuah hotel dengan keadaan sudah telanjang bulat, hanya selembar selimut yang menutupiku.
“ tidak hanya jamahan tangan, kini orang lain telah menyetubuhiku “ aku tak kuasa menahan tangis. Betapa sangat hinanya aku saat ini, mau ditaruh di mana mukaku ini terhadap anak-anakku sebagai orangtua dan kepada ibuku sebagai anak. Segera aku kenakan pakaianku cepat-cepat, aku temukan segepok uang di balik tumpukan pakaianku. Tujuh juta rupiah ! tubuhku telah dijual, tangisku semakin mengucur deras membasahi wajah. Segera aku temui bu Tami.
“ Kau pernah berkata padaku bahwa kau seorang pebisnis dan bersedia membantuku jika aku menemui kebuntuan. Dan kini aku pahami, kau telah menjual tubuhku kepada orang lain ! “
“Mengapa kau perlakukan aku sehina ini,jika  sebagai pemandu aku tidak mempermaslahkanya karena hanya bernyanyi. Namun, kali ini kau menjual tubuhku untuk dirasai orang lain “ tambahku diiringi isak tangis.
“ Sekarang kau pikir ! kau tidak punya apa-apa di sini, ketrampilan tak punya, bahkan kau hanya lulusan Sekolah Dasar. Kau tidak bisa berbuat banyak untuk menghidupi anak-anakmu, membayar semua utangmu dan menyelesaikan segala persoalan ekonomi keluargamu tanpa melakukan ini. hanya dengan ini kau bisa melakukanya ! adakah cara lain untuk itu selain hal ini ? tidak ! tidak ada yang bisa kau lakukan “ ia terlihat marah padaku.
“ Kau bisa menyembunyikan hal ini dari anak dan ibumu. Terpenting kau bisa menghidupi mereka, terlebih anak-anakmu. Sekolahkan mereka setinggi-tingginya agar mampu mengubah nasibmu dan dengan ini kau bisa melakukanya“ tambahnya. Aku hanya terdiam, merenungkan perkataanya yang tidak sepenuhnya salah, memang benar aku tidak bisa berbuat banyak untuk menghadapi seklumit permasalahan yang aku hadapi tapi apa hanya dengan cara bengini aku bisa bertahan. Aku tak tahu, ini yang bisa aku lakukan saat ini, untuk anakku dan ibuku serta jawaban segala permasalahan ekonomi yang menimpa keluargaku.
Kini aku bukan saja seorang ibu ataupun ayah, namun juga menjadi seorang pemandu dan pelacur demi kelancaran hidupku dan keluargaku.
 “ Ya Tuhan, kini aku tak tahu dan tak mampu unttuk berbuat apa-apa lagi. Untuk menghidupi anakku dan menyelsaikan segala persoalanku aku sudah tidak mampu, jika memang hanya ini cara satu-satunya maka, ijinkanlah aku menjadi pelacur”



Komentar

Gerakan Kemahasiswaan

Dimensi Argumentasi

Sebuah hikmah mengatakan, " Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok “ Tantangan terbesar dalam hidup sesungguhnya adalah kefanaan dunia. Dalam kitab, Ayyuhal Walad, Sang Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali menuliskan, " Segala sumber dosa ialah dunia yang hina. Maka, mereka yang cinta buta terhadap dunia, jelaslah dia orang yang hina. " Demikian, bawasanya apa yang menjadi sumber dosa-dosa manusia adalah hawa dan nafsu yang terbelenggu nikmat duniawiyah. Sejujurnya, dalam prespektif peribadatan dapat dikatakan bahwa dunia adalah ladang yang polos. Ya, hitam putihnya tergantung kepada manusia sebagai subjek. Apakah kita ingin menjadikan dunia sebagai lahan bekal untuk pulang? Ataukah justru kita terlena, menjadikan dunia sebagai tambatan kebahagiaan dan nikmat hingga melalaikan segala kewajiban serta melupakan tujuan akhir kehidupan? Dunia yang sebenarnya adalah objek yang sebisa m...

S1 Sabung Ayam

S1 Sabung Ayam Suara ayam berkokok mengiringi datangnya sinar matahari, seolah menjadi alarmku untuk selalu bangun di pagi hari. Banyaknya ayam yang dipelihara oleh paman Rudi menjadikan rumah ini seperti pasar ayam, lima belas ayam tak kurang yang dipelihara paman. Dari sekian banyak ayam yang dipelihara, ada satu ayam yang paling paman dan aku sukai, paman memberinya nama Jaya. Ayam ini menjadi jagoan kami saat mengikuti sambung ayam. Aku dan paman sangat gemar mengadu ayam, tapi untuk mengurus ayam sehari-hari aku tak begitu suka, maka pamanlah yang melakukanya. Hari ini rencananya kami akan mengikuti kompetisi sambung ayam “ Panji “ yang diadakan oleh seorang pejabat daerah di desa kami. Selepas aku bangun, aku sempatkan untuk berjemur di bawah sinar pagi matahari di pekarangan rumah. Terlihat paman sedang sibuk menyeka air disekujur tubuh Jaya yang habis dimandikan. “   E.. Adan ,baru bangun ?.. “ “ Pasukan si Jaya yang membangunkan, paman sendiri pagi-pagi begini ...