Semakin
hari semakin gila saja dunia ini, bagaimana tidak ? orang-orang jujur dan benar
tercecer di jalanan sedangkan orang-orang gila justru mendapatkan kursi mewah
untuk didudukinya di roda pemerintahan. Mau di bawa kemana arah bangsa ini di
tangan-tangan orang gila itu? Sungguh kita telah melampaui perkembangan jaman
modern, jaman edan. Tempatnya di birokrat pemerintahan telah di ubahnya sebagai
panggung sandiwara lawakanya yang mengundang tawa riuh masyarakat yang
menyaksikanya. Aku menyaksikan orasi-orasi calon bupati di lapangan pemuda
dekat desaku dalam rangka pemilihan bupati kabupatenku tahun ini, begitu banyak
janji-janji yang di sampaikan pada kesempatan itu, seolah olah orasi adalah
ajang pemaparan janji semata.
“Jika
memilih saya, saya berjanji anda akan makmur dan sejahtera, pasti ! “.
Kalimat
yang selalu terucap oleh pasangan yoyon dan prihatini (pasangan nomor urut 1)
maupun miskini dan sugihi ( pasangan nomor urut 2) di awal dan ahir dari
serangkaian kalimat yang berisi janji-janji manis yang di sampaikanya. Suatu
janji yang teramat sering diucap ketika berkampanye dan di sambut meriah oleh
masyarakat. Sungguh gila orang-orang itu, bagaimana bisa mereka menjanjikan kemakmuran kepada seluruh
masyarakat kabupaten yang jumlahnya hampir ribuan? Gila sungguh gila janji yang
memancing rasa penasaranku , bagaimana bisa janji seperti itu bisa terwujud menurutku
hanya omong kosong namun di percayai oleh masyarkat.
Waktu
kampanye hampir berahir, tentu masing-masing tim sukses calon bupati semakin
gencar dalam mencari suara hingga ke plosok desa. Aku berjalan menuju rumah di
payungi matahari di atas kepalaku, panas sekali. Hari ini aku pulang lebih awal
karena di sekolahku hanya dilaksanakan upacara bendera saja untuk hari senin
ini, menginggat ada rapat komite yang di adakan di sekolahku maka diperlukan
persiapan yang cukup sehingga di putuskan untuk meniadakan pelajaran pada hari
ini. ketika berjalan memasuki desaku , dalam perjalanan aku melihat fenomena
baru , pak RT mendatangi pintu demi pintu rumah warganya. Awalnya aku berfikir
bahwa dia sedang memberikan bantuan dana kesetiap warganya karena ketika aku
pulang sekolah kulihat ia sedang memberikan uang lembaran merah bening kepada
tetanggaku pak Kusni. Jujur saja pak kusni adalah seorang tukang sempolan yang
bisa dibilang pas-pasan kondisi ekonomi keluarganya. Tetapi tumben sekali dia melakukan
hal itu, karena aku baru pertama ini
melihatnya mendatangi satu demi satu rumah warga dan memberikan bantuan. Karena
penasaran aku berhenti di warung dekat rumah pak Kusni untuk ngaso sebentar dan
mengetahui mengenai pemberian dana tersebut.
“ Dengan
segala hormat saya kepada bapak, saya memohon maaf karena tidak bisa menerima
uang ini, terimakasih “ terdengar suara penolakan pak Kusni yang lembut dari
warung yang aku singgahi. Sedikit aku mencuri pandang ke arah mereka dan
tiba-tiba
“ dooor! “
suara
keras terdengar dari rumah pak Kusni, nampaknya itu suara pintunya yang ia
tutup kencang-kencang. Aku tak menduga seorang pak Kusni yang halus bisa
seperti itu, ia menolak dana bantuan itu. Disisi lain aku lihat wajah pak RT
yang muram dan terus berjalan ke arah rumah wara-warganya yang lain di ujung
desa.
Matahari
mulai dekat dengan persinggahan dan sore mulai datang. Aku membayar beberapa
makanan yang telah ku makan selama menyaksikan pristiwa dana bantuan oleh pak
RT dan pak Kusni tadi dan aku lanjutkan jalan pulang. Ketika tiba di rumah aku
merapikan barang-barangku dan bersih diri.
Setelah
maghrib, sepulang aku dari surau perutku terasa lapar sekali, beruntung aku
membawa uang lebih maka kuputuskan untuk cari-cari cemilan untuk menemani jalan
pulang. Tiba di pertigaan gang depan surau kudapati tukan sempolan yang sedang
melayani pembeli,
“ Pas
sekali, itu dia makanan aku datang ! “ aku menghampiri sipenjual itu.
Semakin
dekat aku dengan penjual, ternyata dia pak kusni tetangga dekat rumahku.
“ Eaalah
pak Kusni to”
“ iya den,
mau beli berapa den? “
“ lima ribu
saja pak, untuk teman pulang dan menganjal perutku yang lapar “
Segera ia
gorengkan pesananku itu, tak lama peristiwa tadi siang menyerang otakku seakan
menginggatkan, spontan aku tanyakan padanya.
“ Tadi
siang saya melihat pak RT ke rumah, nampaknya memberi bantuan desa ya pak ? “
“ wah
mboten den mboten, “
“Lah terus
nopo pak ? saya sempat lihat tadi waktu pulang sekolah bapak sampai membanting
pintu keras begitu “
Sembari
membolak balikan sempolan yang di gorengnya dijelaskanya mengenai peristiwa
yang kulihat tadi siang.
“
sebenarnya pak RT itu bukan memberikan bantuan den, dia hanya meminta saya
untuk menolongnya, dan ia akan membayar saya. Ketika saya tanyakan apa yang
bisa saya tolong, jawabanya membuat saya kaget benar”
“lalu
bagaiamana jawabnya pak ? “ tanyaku dengan rasa penasaran yang semakin
menggunung ini.
“ terkejut
benar saya den, ia meminta tolong pada saya untuk memilih paslon nomor 1 ,
yoyon dan prihatini pada pemilihan bupati besok Kamis dan telah disiapkanya
uang merah untuk saya bila saya mensetujuinya” lawakan macam
apa pula ini.
“Ha? Timses
?Membeli suara? Politik uang ? apa-apaan ini ? anda sebagai teknokrat telah
memberikan contoh buruk pada warga anda. “ gerutuku terheran heran dalam hati
“ Lantas
bagaimana jawaban bapak ? “
“ Awalnya
saya tolak dengan halus den tetapi ia terus memaksa lalu saya biarkan dan saya
tutup pintu rumah saya dengan keras sebagai luapan kejengkelan saya. Benar saja
, meski saya setiap hari mondar mandir di jalan demi mencari makan anak istri tapi
saya tidak kalap, masih tahu mana yang benar dan yang salah den , dan ini
terang salah dan keliru menurut saya. Sebenarnya bukan pak RT saja den,
sebelumnya juga pak rudi staf desa yang menawari saya untuk memilih pasangan
nomor urut nomor 2, miskini dan sugihi tapi dengan alasan yang sama saya
menolaknya “ seketika aku terdiam mendengar informasi tentang lawakan para
pejabat desa ini.
Nampak
sekali raut kesal pada wajahnya, tak kusangka dengan kondisi ekonomi yang
sangat minim dia masih memegang teguh rasa jujur dan kebenaran meski dengan
uang politik tadi bisa sedikit membantunya untuk makan sekeluarga beberapa hari
tanpa bekerja.
“ ini den , monggo “ Di ulungkanya bungkusan
sempolan yang masih panas padaku.
“
Maturnuwun pak “
Sembari kuberikan
uang untuk membayar dan berjalan pulang sambil memakan sempolan. Sembari
berjalan aku kembali teringat akan janji para calon bupati kabupatenku
“ Jika
memilih saya, saya berjanji anda akan makmur dan sejahtera, pasti ! “
Kini
aku menemukan jawaban maksut dari janji itu. Ternyata yang dimaksut dengan
makmur ketika memilihnya ialah dengan money politiknya ! masyarkat akan makmur
dan sejahtera karena akan diberikan uang ( yang cukup mengiurkan bagi warga
desa ) jika mau memilihnya. Dengan begini siapapun yang mau memilihnya akan
makmur. Nampaknya sudah benar-benar edan jaman ini. kasihan masyarakat yang
tidak tahu menahu, nampaknya mereka menjadi sasaran empuk malapraktek politik
orang-orang gila. Akan banyak banyolan-banyolan gila yang akan terjadi tinggal
menunggu waktu saja, pertunjukan komedi akan segera di mulai.
Sesampai
dirumah, segera aku cari ibuku di dapur sambil bartriak-triak di dalam rumah
“
Buuu... Ibuuu...”
“
Ada apa kok triak-triak begitu, menganggu tetangga to nanti..”
“
Iya maafkan saya bu, apakah hari ini ada orang datang membawa uang ke rumah bu
?”. ingin kupastikan apakah ada yang mau membeli suara dari keluargaku.
“
Maksutmu pie lee ? “. Ibu nampaknya kebinggungan dengan pertanyaan yang aku
ajukan, ku perjelas lagi pertanyaanku.
“
Apakah tadi pak RT datang kemari bu ?. “
“
Iya tadi pagi sehabis kamu berangkat sekolah dia datang kemari”. Pikiranku langsung
menerka dan menduga-duga.
“
Ada perlu apa bu dia kesini? Tumben sekali”
“
Tadi niatnya mau meminta tolong sama ibu dan keluarga, katanya jika mau
menolongnya mau dikasih uang, ia juka sudah bawa uangnya le seratus ribuan
banyak sekali yang di bawanya, tapi jangan sampai seisi rumah tahu tentang hal
ini katanya ”
“
Lalu bu ? “
Ya ibu
bilang “ kalau butuh bantuan ya bilang saja dan tidak perlu malu memberi uang
karena memang tolong-menolong itu wajib bagi sesama, memangnya perlu bantuan
apa to pak ?
“ Lalu bagaimana jawabnya bu ?.”
“ Belum sempat menjawab bapakmu tiba
dirumah pulang kerja le jalanan macet kelihatanya, biasanya malam hari dia tiba
di rumah. Tapi entah kenapa ketika pak RT melihat bapakmu berjalan dari arah
pelataran uangnya yang banyak tadi langsung di sembunyikanya dibalik saku
celanan dan terburu-buru pamit pulang. Jadi ibu tidak tahu sebenarnya maksut
pak RT itu bagaimana”
“ Oalah ngono to bu “ aku tersenyum
mendengar jawaban ibu tadi. Rasakan ! aku bayangkan dia seperti seekor tikuas
berlarian ketika melihat kucing yang garang. Nampaknya takut niatnya di ketahui
olah ayahku, ayahku sendiri seorang yang anti pada malapraktik politik yang
seperti itu dan terang menentangnya, ia bekerja di luar kota.
“ Emang ono opo to le kok bertanya
seperti itu ?”
“ Cuma bertanya saja bu, saya
laparbu dari tadi, mau makan dulu”
“ yowis makan dulu, sing akeh ben
gemuk”
Aku berjalan menuju meja makan untuk
menuruti keinginan cacing-cacing di perutku yang sudah berdemo sejak tadi.
Kenapa dunia bisa segila ini tuhan ?
yang jujur dan benar justru berserakan di jalan sementara yang gila justru
mendapatkan kuasa.....
Bersambung
(next)
Komentar
Posting Komentar