Langsung ke konten utama

Pingitan


Pingitan

Kemenangan partai liberal dalam tubuh birokrasi Belanda telah berdampak besar bagi negara Hindia. Telah diputuskan untuk menerapkan sistem politik pintu terbuka semenjak tahun 1870 di tanah Hindia ini, nampaknya negara tanah rendah itu sudah memiliki cara terbaru dalam upayanya mengeruk kekayaan dari tanah ini. Diterapkanya sistem politik pintu terbuka seakan menjadi lampu hijau yang menandakan keterbukaan Hindia bagi para pemilik modal dari penjuru dunia. Orang-orang Eropa kebanyakan berdatangan tidak hanya dengan modal di tangan, mereka juga membawa adat dan kebiasaan modern Eropa. Diterapkanya politik balas budi Van de Venter sejak akhir abad 19 yang berupa Imigrasi, Edukasi dan Irigasi di Hindia juga semakin memperkuat pengaruh Eropa yang datang, baik adat, budaya, dan ilmu pengetahuan.
Zaman yang terus berkembang menuju modern ini tak kunjung mampu menggerus kebiasaan nenek moyang yang sudah tidak aku harapkan. Sebagai wanita, tentu aku merasa cemburu dengan adat Eropa, mereka selalu mengedepankan persamaan hak dan derajad antara wanita dan pria. Di Hindia ini wanita telah menjadi salah satu kekayaan yang kiranya dapat dikeruk oleh penguasa kolonial. Jika tidak menjadi budak dapur ya budak nafsu, tidak jauh-jauh dari itu. Memang seperti itulah kolonialisme, Mereka hanya mengindahkan kepentingan bangsanya sendiri dan mengeruk kekayaaan bangsa lain. Praktik penghisapan manusia yang satu oleh yang lainya telah menjadi kebiasaan penguasa kolonial. Suatu kebiadaban yang menghiasi negara jajahan.
Sebagai anak seorang Tumenggung di daerah S, aku memiliki sedikit perbedaan dalam hal pendidikan dan ekonomi dari wanita kebanyakan. Secara ekonomi tak perlu diragukan lagi, ayahku seorang pegawai Gubermen dengan gaji tetap. Sedang dalam pendidikan, aku mengenyam pendidikan di  E.L.S sekolah Eropa. Hanya anak pejabat saja yang mampu bersekolah di sini, untuk wanita lain terlalu sulit, paling-paling hanya bisa bersekolah di Volkisch School , sekolah desa untuk Pribumi. Apalagi hampir semua orangtua tak akan mengijinkan, lebih baik memasak di dapur dan menunggu lamaran datang, entah lamaran menjadi istri sah atau gundik. Jika menjadi istri sah entah istri keberapa, pertama, kedua, ketiga atau bahkan keempat. Buat apa sekolah, toh nanti juga jadi seorang istri yang bekerja di dapur, menghamburkan uang saja. Meski aku nanti juga bernasib sama dengan mereka, tapi aku harus berpendidikan, setidaknya mampu baca tulis seperti Kartini.
Setelah selesai menempuh sekolah di E.L.S selama tujuh tahun di tahun 1907, sebenarnya ingin aku melanjutkan sekolah hingga H.B.S (sekolah tingkat Eropa) di  Hindia. Namun ayah dan ibu tidak mendukung. “ Sudah cukup belajarmu. Sekarang lebih baik di rumah, menunggu bangsawan datang melamar”  jika saja aku dilahirkan di Eropa, tentu akan lain cerita.
Menginjak usia 15 tahun aku sudah mulai dipingit oleh orang tua, layaknya seorang tahanan rumah. Dalam masa pingit aku jadikan pena sebagai teman, berbekal ilmu baca tulis yang aku dapat di E.L.S aku tuangkan segala perasaan yang aku hadapi. Sekedar harapan saja, semoga tulisanku inilah yang nanti akan berbicara pada dunia tentang busuknya perlakuan terhadap wanita di Hindia saat ini. Kartini telah memulai perjuangan ini, aku akan pertajam dan selesaikan. Apa yang terjadi di Hindia terhadap para wanita saat ini sangat bertentangan dengan semboyan Revolusi Perancis yang pernah aku baca dalam buku sekolah dan aku kagumi yakni, Liberte, Egalite dan Fraternite. Bebas, persamaan hak dan sejajar seperti yang aku harapkan.
Dalam keseharian aku terlarut dalam duniaku sendiri, ingin sekali aku tidur di masa ini dan terbangun di masa ketika hak dan persamaan manusia telah diakui di Hindia.Tak jarang aku membacai surat kabar langganan bekas milik ayah. Memang ragaku diharuskan menetap dan dilarang keluar dari dalam rumah, namun jiwa dan pikiran ku tidak terlarang untuk itu. Pernah terbaca olehku suatu karangan yang berhubungan dengan Revolusi Perancis, tertulis dengan nama Rudolf Simatupang sebagai pengarangnya, seorang pekerja di surat kabar. Aku mencoba mencari  surat kabar lain yang terdapat karangan hasil tulisanya, berusaha untuk mendapatkan alamatnya. Lima sentimeter tumpukan surat kabar telah aku perikasa, aku temukan alamat Rudolf itu. Segera aku tulis kalimat-kalimat di atas kertas untuknya, nampaknya ia akan menjadi teman bertukar pikiran yang tepat untukku. Aku tanyakan mengenai Revolusi Prancis padanya melalui surat yang telah aku kirim.
            Tak lebih dari seminggu surat datang padaku, Rudolf membalas apa yang telah aku mulai. Nampak iia begitu kaget menerima surat dariku, seorang wanita Pribumi.Ia menganggap surat ini sebagai tanda perkenalan dan berharap menjadi awal persahabatan untuk kita. Aku bacai suratnya itu, kutemukan kalimat yang menurutku sejalan dengan angan dan cita-citaku: Aku pengagum Revolusi Perancis Liberte, Egalite dan Fraternite. Kebebasan, dalam memilihi masa depan dan arah tujuan hidup. Persamaan, aku menghendaki adanya persamaan hak khususnya antara golongan di Hindia ini, termasuk persamaan hak antara kaum pria dan wanita. Kekeluargaan, seluruh Hindia adalah keluarga,  tidak patut adanya perbudakan dalam keluarga, juga terlarang adanya penghisapan sesama manusia.Begitu juga yang nona kehendaki bukan ?.
Aku merasa senang mendapat teman bertukar pikiran yang sejalan. Kami menjadi sering bertukar pikiran, kurang lebih satu tahun surat menyurat di antara kami terus berjalan. Telah lebih jauh aku mengenalnya, ia kini menjadi seorang redaktur surat kabar Area. Surat kabar dengan bahasa Belanda dan Melayu yang cukup tersohor di seantero Hindia. Setumpuk kertas yang pernah aku tulis mengenai masa pingitanku ini aku cari dan menatanya dengan rapi, ada pikiran untuk aku mengirimkanya pada Rudolf, aku ingin ini diterbitkan. Namun aku masih ragu, masih terlalu dini yang aku tulis ini. Aku putuskan untuk melanjutkan tulisan hingga datang saat yang benar-benar tepat untuk diterbitkan.
Satu tahun pingitanku itu tak terasa lama dengan surat-surat Rudolf, lama semakin lama ada rasa tertarik padanya, dari kepribadian dan prinsip-prinsipnya. Nampaknya aku telah jatuh cinta pada dirinya.“Hushh..” aneh-aneh saja aku ini, belum juga bertemu pandang sudah langsung jatuh cinta saja. Hal yang paling membuatku bahagia adalah ketika dalam suratnya ia katakan kepadaku seperti ini: Nona Soetari, telah lama kita saling mengenal dan bertukar pikiran. Terus terang saya tertarik dengan kepribadiaan dan gaya berfikir nona yang modern, satu langkah lebih maju daripada Pribumi yang lainya. Dengan kesungguhan hati, sudikah kiranya nona menerima saya jika berkunjung ke daerah nona ? Akan saya jelaskan tentang hubungan kita dan ketertarikan saya pada ayah nona. Memang kita belum pernah berjumpa, namun tidak masalah soal rupa, saya tertarik pada diri nona. Kira-kira saya akan tiba kurang lebih dua minggu lagi. Sontak aku berharap dua minggu itu bisa dua kali lebih cepat. Tak sabar lagi aku menunggu kedatanganya.
Setelah aku kirim surat balasan mengenai kesedianku menerima kunjunganya, di dapur aku berandai-andai tentang apa yang harus aku lakukan jika ia datang nanti, tentu bersolek semenawan mungkin. Lamunanku terhenti seketika saat ibu tiba-tiba datang kepadaku untuk menyampaikan pesan dari ayah. Ia memintaku untuk menemui ayah di ruang tengah setelah salat dzuhur.
“ Mengapa ayah tidak datang sendiri bunda?”
“ Hushhh, buat apa ayahandamu datang ke dapur, tidak patut” sepertinya dapur telah menjadi tempat yang hina bagi seorang pria. Setelah salat dzuhur segera aku temui ayahanda di ruang tengah.
“ Ada apakah ayahanda memanggil saya?” ditariknya dalam-dalam hirupan pipa rokoknya dan dikeluarkan dengan kuat.
“ Aku ingin bicara padamu Soetari“ sembari meletakan pipanya di sebelah asbak perak yang berkilau.
“ Mengenai apa ayahanda ? ” aku duduk menglesot di hadapanya, layaknya seorang budak yang hendak menghamba pada majikanya.
“Mengingat usiamu yang sudah cukup untuk menikah, hampir tujuh belas bukan?”
“ Betul ”
“ Sebulan lagi akan datang putra Bupati Tuban untuk melamarmu” aku tertunduk diam, lantas bagaimana nasib Rudolf nanti. Permintaan ayah adalah perintah, bagaimana aku akan menolaknya.
“ Bagaimana? Tentu engkau tidak akan menolak permintaan ayahanda bukan ?
“ Betul “ entah harus bagaimana lagi, aku pasrahkan semoga tuhan memberi jalan.

            Kini hari-hariku berlalu dengan penuh kegusaran, bagaimana dengan Rudolf nanti. Segera aku tulis surat untuknya agar ia mau mempercepat kedatangnya kemari sebelum lamaran itu datang, intinya kutuliskan :  Mas, akan datang lamaran dari seorang putra bupati kepadaku dalam waktu satu bulan dari sekarang, aku harapkan engkau mau mempercepat kunjunganmu kesini. Aku takut ia mendahului kedatanganmu dan ayah menerima lamaranya. Cepatlah datang mas.
Setelah lama aku kirim surat itu, tak kunjung aku mendapat balasan darinya. Tidak , ia tidak akan mengecewakanku, ia akan datang lebih cepat untuku. Sembari mengelupas kulit kentang di dapur, aku terus memikirnkan tentangnya. Terdengar suara Marsini, pembantu rumah yang datang melalui pintu belakang,
“ Ndoro Ayu...” nampak tersengah-engah nafsanya karena berlarian.
“ Ada apa Marsini?”
“ Maafkan saya tidak sopan Ndoro Ayu”
“ Tidak apa-apa, tenanglah dan jelaskan ada apa?”
“ Di depan ada tamu, tinggi gagah dan tampan. Nampaknya seorang peranakan yang ingin bertemu Ndoro Ayu ”
“Rudolf kah itu ? ia datang mendadak seperti ini tanpa kabar, tidak sempat pula aku menata diri.” Gerutuku dalam hati.
“ Ayo kita lihat “ aku dan Marsini mengintip perbincangan mereka dengan diam-diam dibalik bilik rumah. Nampak ayah sedang duduk bersama Rudolf dan berbincang.
“ Tidak ! Tuan tidak bisa menemui putriku Soetari, ia sedang dipingit dan tak boleh menemui tamu ”
“ Mengapa Tuan Tumenggung membatasi hak-haknya sebagai manusia ? dengan ini Tuan melanggar hak dari anak Tuan sendiri untuk mendapat kebebasan”
“Aku yang berhak menentukan arah hidup anakku sendiri”
“ Setiap orang memiliki hak untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya sendiri Tuan, termasuk anak Tuan Tumenggung “
“ Tuan ini siapa ?”
“ Saya Rudolf Simatupang Tuan, saya datang kemari hendak menyatakan ketertarikan saya dengan anak Tuan sekaligus menemuinya“
“ Melamar maksud Tuan ? tanyanya dengan nada mengejek.
“ Kurang lebih begitu Tuan Tumenggung “
“ Anakku telah bersiap menerima lamaran yang telah kami rencanakan dengan seorang putra bupati, golongan yang pantas bagi keluarga kami. Tuan memang seorang peranakan Eropa, namun Tuan tidak memiliki jabatan sah dari Gubermen, jadi jangan harap Tuan bisa bersanding dengan anakku” terlihat jari ayah menunjuk ke arah muka Rudolf.
“ Nampaknya Tuan telah merampas seluruh hak anak Tuan sendiri, baiklah. Terima kasih atas sambutanya, saya mohon diri “
Ingin aku menghampiri Rudolf, namun Marsini menahanku.
“ Jangan Ndoro, nanti ayahanda bisa murka” aku mengikuti saranya.
Setelah penolakan itu, lama Rudolf tak menyurati. Setelah selesai lamaran dari anak Bupati Tuban, aku berfikir nampaknya tidak ada jalan lain lagi. Inilah yang harus aku hadapi. Marsini menemuiku dan membawakan sebungkus surat,
“ Dari Rudolf Ndoro..” segera aku lucuti bungkus kertas dan aku baca suratnya. Tangis haruku pecah dalam serangkaian kalimat penutup olehnya, begini : Nampaknya orangtua nona tak merestui hubungan kita, ditendangnya aku dengan kalimat-kalimat yang penuh penindasan. Nampaknya aku seorang diri tak mampu merubah dan mendapatkan kebebasan dan hak-hakmu untuk saat ini. Namun biarkan kisah ini menjadi awal bebasnya hak-hak perempuan sesudahmu nona, setelah kisah Kartini yang begitu menginspirasi anda tentu. Aku akan terus berusaha mendapatkan persamaan hak dan kebebasan golonganmu. Semoga kita tetap bisa bersahabat baik.
Betapa aku tidak mampu berbuat apa-apa dalam hal ini, seolah seperti boneka yang menuruti apasaja yang diinginkan tuanya.
            Waktu terus berlalu, pernikahanku dengan anak Bupati Tuban diputuskan akan degelar tahun depan. Tepat awal tahun masehi. Dua bulan setelah surat Rudolf kuterima, kini tubuhku menjadi kurus, kesehatanku menurun. Seorang tabib ternama telah dipanggil untuk menyembuhkan, tak berdampak apapun pada tubuhku. Aku telah divonis mengidap penyakit TBC. Penyakit yang belum ada obat penawar di tanah Hindia ini. Aku hanya dapat bertahan saja, tidak bisa disembuhkan karena penawarnya belum bisa ditemukan. Semakin lama semakin kurus tubuhku, kehilangan nafsu makan. Mataku nampak cekung dan wajahku pucat. Kuberitakan keadaanku pada Rudolf, ia nampak bersimpati dan masih penuh perhatian, ia mendoakan agar aku diberi kekuatan dan penawar untuk penyakitku  agar segera didapatkan.
“ Yang kuat ya nduk..... “ kata-kata ibu yang selalu terucap setiapkali memasuki kamarku. Sementara ayah sibuk mencari penawar, ia selalu memikirkan bagaimana nasib pernikahanku jika aku sakit begini.
            Tubuhku semakin tak berdaya, sakit yang begitu hebatnya menghantam pertahanan tubuhku, aku sudah tak sanggup lagi menghadapinya. Kini hanya mata, telinga dan mulutku saja yang masih berfungsi, aku diprediksi tak lama lagi bisa bernafas bila tak ada penawar didapat. Aku akan mati dalam pingitan ini ! Aku minta Marsini untuk mengambil tumpukan tulisanku yanag pernah aku tulis mengenai pahitnya menjadi wanita Pribumi yang dilanggar hak-haknya, dan kisah selama pingitan termasuk kisahku dengan Rudolf.
“ Segera tata dengan rapi dan kirimkan pada Rudolf” aku fikir ini adalah waktu yang tepat untuk diterbitkan tulisan ini. Dengan segera Marsini melakukan tugasnya.
Beberapa minggu berselang, Hindia terguncang dengan terbitan surat kabar Area pimpinan Rudolf. Benar saja, tulisanku telah diterbitkanya dalam bahasa Belanda, Melayu dan Inggris yang terbaru. Kabarnya, surat kabar itu juga diterbitkan di beberapa negara luar. Sempat aku minta agar Rudolf menerbitkanya dengan tidak melibatkan nama ayahku dan statusku sebagai anak tumenggung, ia hanya boleh katakan bahwa aku seoarang anak pejabat di daerah S.
Kini masyarakat dunia telah tahu bagaimana perempuan diperlakukan di Hindia. Tulisan-tulisanku telah berbicara pada seluruh orang di bumi Hindia ini. Semoga apa yang telah terjadi padaku dan apa yang telah aku lakukan mampu membuka mata dunia dan menghapus penindasan dan perampasan hak pada perempuan. Persamaan hak terlaksana di Hindia dan daerah-daerah lainya yang senasib, serta golonganku setelah ini tidak akan merasakan apa yang telah aku dan golongan sebelum aku rasakan. Aku lega, berita baik ini akan menjadi bekal dan pengantarku menuju surga. Tidak aku pedulikan tentang penawar. Aku telah siap dijemput oleh kematian, aku akan bersama kartini di surga, akan kami lihat dari sana para wanita hidup dengan hak yang tidak beda dengan pria di tanah Hindia ini.
            “ Dunia ini di pimpin oleh seorang yang hebat, dan seorang yang hebat itu lahir dari rahim seorang perempuan. Nabi yang digandrungi sejuta umatpun dilahirkan dari seorang perempuan.Sudah sepantasnya perempuan mendapat hak yang layak dalam hidup”

                                                                                               

















Komentar

Gerakan Kemahasiswaan

Dimensi Argumentasi

Sebuah hikmah mengatakan, " Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok “ Tantangan terbesar dalam hidup sesungguhnya adalah kefanaan dunia. Dalam kitab, Ayyuhal Walad, Sang Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali menuliskan, " Segala sumber dosa ialah dunia yang hina. Maka, mereka yang cinta buta terhadap dunia, jelaslah dia orang yang hina. " Demikian, bawasanya apa yang menjadi sumber dosa-dosa manusia adalah hawa dan nafsu yang terbelenggu nikmat duniawiyah. Sejujurnya, dalam prespektif peribadatan dapat dikatakan bahwa dunia adalah ladang yang polos. Ya, hitam putihnya tergantung kepada manusia sebagai subjek. Apakah kita ingin menjadikan dunia sebagai lahan bekal untuk pulang? Ataukah justru kita terlena, menjadikan dunia sebagai tambatan kebahagiaan dan nikmat hingga melalaikan segala kewajiban serta melupakan tujuan akhir kehidupan? Dunia yang sebenarnya adalah objek yang sebisa m...

Melacur

Melacur Tidak bisa dipungkiri bahwa kini aku seperti tidak tahu arah melangkah lagi. Sementara keadaan semakin memaksaku untuk menentukan jalan, lantas kemanakah langkah kaki ini akan berarah ?. Dalam kehidupanku yang tidak lebih dari kecukupan, aku masih terus berusaha mencukupi segala kebutuhan, tidak hanya kebutuhanku sendiri, namun juga dua anakku yang masih kecil, Rafin dan Ranti. Karena suamiku yang telah pergi dari dunia ini, secara alamiah telah menobatkanku sebagai pemegang peran ganda dalam menjalani hidup sebagai orangtua dari anak-anakku. Tidak hanya mengurusnya serta menghidupinya, aku juga harus mampu memenuhi segala kebutuhanya, diperberat lagi dengan hutang-hutangku yang semakin menumpuk. Permasalahan ekonomi terus mendatangiku tiada jeranya, membuatku kelabrakan mencari jalan keluar. Pernah suatu kali, aku mencoba bekerja sebagai seorang kuli angkut pasar, sebagai perempuan tentu ini pekerjaan yang tidak wajar, namun mau tidak mau aku harus lakukan. Seekor buru...

S1 Sabung Ayam

S1 Sabung Ayam Suara ayam berkokok mengiringi datangnya sinar matahari, seolah menjadi alarmku untuk selalu bangun di pagi hari. Banyaknya ayam yang dipelihara oleh paman Rudi menjadikan rumah ini seperti pasar ayam, lima belas ayam tak kurang yang dipelihara paman. Dari sekian banyak ayam yang dipelihara, ada satu ayam yang paling paman dan aku sukai, paman memberinya nama Jaya. Ayam ini menjadi jagoan kami saat mengikuti sambung ayam. Aku dan paman sangat gemar mengadu ayam, tapi untuk mengurus ayam sehari-hari aku tak begitu suka, maka pamanlah yang melakukanya. Hari ini rencananya kami akan mengikuti kompetisi sambung ayam “ Panji “ yang diadakan oleh seorang pejabat daerah di desa kami. Selepas aku bangun, aku sempatkan untuk berjemur di bawah sinar pagi matahari di pekarangan rumah. Terlihat paman sedang sibuk menyeka air disekujur tubuh Jaya yang habis dimandikan. “   E.. Adan ,baru bangun ?.. “ “ Pasukan si Jaya yang membangunkan, paman sendiri pagi-pagi begini ...